Minggu, 28 Oktober 2007

Selasa, 02 Oktober 2007

Bastra Bersama 2007


Selamat Bergabung di HMI ! Yakin Usaha Sampai !!!

Minggu, 19 Agustus 2007

Rejuvenasi Perkadern HMI : Dari yang Pakem Hingga Marketing Revolution

Oleh : Yanu Endar Prasetyo, S. Sos
Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Anggota
HMI Cabang Surakarta, 2007-2008

“Siapapun yang enggan berubah, ia akan tergilas oleh perubahan. Sebab ,tiada yang kekal di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri...dan saksikanlah, perubahan itu telah, sedang, dan akan terus berlangsung !”



Menapaki usia senja, perjalanan HMI nampaknya semakin sulit dimengerti. Tentu kita tidak berharap HMI akan segera tutup usia. Layaknya manusia di usia enam puluh tahun lebih, yang tertinggal di tubuhnya hanya penyakit, kelemahan, keluh-kesah, dan ketergantungan pada uluran tangan orang lain. Bahkan untuk sekedar berjalan atau minum obat. Jika mau jujur, analogi orang tua itu nampaknya memang persoalan yang sedang kita (baca:HMI) hadapi. Tubuh kita sedang digerogoti “penyakit dalam” yang mengkhawatirkan. Sebagai indikasi, komitmen dan militansi kader terus mengalami penurunan, pemahaman keislaman kader makin dipertanyakan, dan penyakit umum para kader yang justru sering dianggap sebagai kelebihan : Talk Only No Action! Pantas saja, jika penyakit itu kemudian membuat tubuh kita menjadi semakin rentan dan lemah.
Implikasinya, organisasi ini kemudian terengah-engah untuk berkompetisi dengan organ-organ muda lain yang lebih progressif. Kita terkaget-kaget dengan perubahan radikal yang terjadi di sekeliling kita. Wajah kampus pun telah berganti. Medan itu kini mayoritas diisi kaum hedonis-pragmatis. Masjid-masjid kampus dan halaqoh di mushola fakultas, bukan lagi milik aktivis HMI. Di kampus, menjual ideologi ke-HMI-an sulitnya ibarat menjual es di musim dingin, nggak laku-laku! Meskipun, kondisi ini tidak dapat digeneralisir untuk semua konteks kampus di Indonesia, namun, setidaknya pengurus yang berproses di komisariat akan paham benar, bahwa pendekatan yang bersifat ideologis, semakin mustahil digunakan untuk menarik minat kader baru. Sampai-sampai, PB HMI pun harus mengeluarkan instruksi – yang menurut Saya terlalu reaksioner – supaya “HMI Back to Campus”. Lantas, pertanyaan untuk kita semua adalah, kalau tidak di kampus, selama ini kita berada dimana?
Lebih jauh, pencitraan atau pembangunan image positif HMI, justru terhambat oleh perilaku sebagian kader-kader HMI itu sendiri. Lulus lama, nilai akademik rendah, plin-plan, dan stereotip buruk lainnya. Tak heran, etos dan identitas HMI yang terbangun kemudian adalah karakter “ke-serba-tidakjelasan-nya” itu. Di satu sisi, kita bisa mengklaim hal ini sebagai kelebihan. Sebab, HMI tidak kemana-mana, tetapi bisa ada dimana-mana. Namun, di sisi lain, jika image serba “tidak jelas” ini terus melembaga dan dipertahankan, lambat laun, kompetensi, kapabilitas, dan integritas kita pasti juga akan dipertanyakan! Apa kata dunia ? demikian Naga Bonar menegaskan.
Jika sudah begitu, yang tersisa hanyalah keluh-kesah dan keprihatinan yang berujung pada saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Jangankan itikad baik untuk memperbaikinya, kita justru makin malas dan kebingungan untuk mencari akar persoalan dari semua problematika ini. Sebab, semua sudah terlanjur menjadi sebuah lingkaran setan yang tak berujung. Oleh karena itu, sebelum kita tertinggal makin jauh, HMI harus meninjau ulang setiap pilar dan resources yang menopang kehidupan organisasi ini. Baik yang berupa modal sosial, ekonomi, politik, dan yang paling penting adalah modal intelektual. HMI harus kembali pada tujuannya untuk membina sebanyak mungkin kader-kader intelektual-profetik (bersifat liberatif, emansipatif, dan transformatif) yang mandiri dan berdedikasi tinggi terhadap organisasi, agama, dan negara. Untuk melaksanakan pembinaan sekaligus mencapai tujuan HMI tersebut, maka metode dan pola perkaderan HMI harus menjadi sine qua non[1] yang - mau tidak mau - harus segera direjuvenasi (rejuvenate [2] = make younger and more lively). Pilihannya hanya dua : berubah dari sekarang, atau tertinggal semakin jauh!

Studi Kasus HMI Cabang Surakarta (HMI Solo)

Sebelum mengulas konsep rejuvenasi perkaderan, sesuai permintaan redaksi, Saya akan mencoba menghadirkan studi kasus perkaderan HMI Cabang Surakarta, sebagai sebuah mirror of organization bagi HMI secara keseluruhan. Saya sebut cermin, karena tulisan ini memiliki satu prinsip : cermin tidak pernah berbohong. Artinya, Ia selalu memantulkan realitas apa adanya. Saya berusaha semaksimal mungkin agar cermin ini tidak menjadi cekung (mengecilkan realitas atau melakukan simplifikasi yang berlebihan) dan sebaliknya, menjadi cembung (hiperbolistik atau berlebihan dalam mendramatisir persoalan). Dengan menghadirkan realitas objektif yang ada, siapa tahu, persoalan yang kami hadapi di Surakarta, juga dialami oleh cabang-cabang lain di Indonesia. Kalaupun nanti berbeda, semoga bermanfaat untuk mengawali perdebatan atau dialektika perkaderan di level nasional.
Pembaca pasti paham, sebagai organisasi mahasiswa[3], fungsi utama HMI adalah mencetak kader[4]. Dengan demikian, perkaderan dapat dimaknai sebagai “jantung” HMI. Jantung sendiri adalah pusat kehidupan. Ia berfungsi ketika terus berdetak dan mampu memompa darah keseluruh tubuh. Sama halnya dengan perkaderan di HMI. Sepanjang jenjang dan proses perkaderan terus berdenyut, kader-kader baru terus dilahirkan, dan kemudian didistribusikan ke seluruh bidang kehidupan masyarakat, maka HMI nyata eksistensinya. Ia hidup. Tetapi tidak berhenti sampai disitu. Ada dua jenis ke-berada-an yang perlu kita pahami. Dua eksistensi itu – mengambil dari falsafah jawa – adalah urip sajroning mati (hidup dalam kematian/tiada tapi sesungguhnya ada) dan atau mati sajroning urip (mati dalam kehidupan/ada tapi sesungguhnya tiada).
Makna eksistensi yang pertama yaitu, meskipun orang, organisasi, atau subjek itu telah tiada (mati secara fisik), tetapi ide-ide, peninggalan, dan karya-karya masih terus hidup dan dapat dipelajari serta bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Sedangkan makna eksistensi kedua kurang lebih, meskipun orang, organisasi, atau subjek itu hidup secara fisik, namun sejatinya ia tidak membawa kemanfaatan apapun begi kehidupan. Ia ada dan nyata, tapi miskin dan minim kontribusi. Saya katakan, HMI Cabang Solo sempat mengalami keberadaan yang kedua. Mati sajroning urip, selama lebih dari dua tahun. Saya tidak perlu membahas sebab-musabab mati surinya HMI Cabang Solo, namun lebih menarik membicarakan implikasinya yang luar biasa terhadap perkaderan.
Semula, terdapat 11 komisariat di lingkup HMI Cabang Solo, dengan basis utama di Universitas Sebelas Maret. Antara lain, Komisariat Fakultas Hukum, F. Ekonomi, Fisip, MIPA, Teknik, dan Pertanian. Ada juga Komisariat Ahmad Yani, Insan Cita, dan Kentingan, yang ketiganya dari FKIP. Kemudian Komisariat M. Iqbal di Fakultas Sastra dan Seni Rupa plus STSI (sekarang ISI Surakarta). Sementara itu di Universitas Islam Batik (UNIBA) terdapat komisariat Hasan Al Banna. Sementara itu, lembaga kekaryaan yang dinilai masih aktif antara lain LAPMI, LKMI, dan LPL/BPL. Namun, semenjak krisis internal dan menurunnya eksistensi HMI Cabang Solo, yang berarti pula terbengkalainya semua program kerja, saat ini tinggal tiga komisariat yang dinilai cukup establish, baik dari segi perkaderan maupun program kerja (Hukum, Fisip, Al Banna), sementara komisariat yang lain sedang berusaha bangkit dari titik nol, bahkan minus. Memprihatinkan memang.
Dari sini, saya ingin mengatakan bahwa, peran cabang sangat siginifikan dalam proses perkaderan. Ketika keluhan tentang sulitnya mencari kader, atau minimnya LK I/Bastra itu muncul, maka otokritik pertama harus dilayangkan pada pengurus Cabang. Apa saja yang telah mereka perbuat ?! Kenapa bukan komisariat yang menjadi pesakitan? Sebab, segala kebijakan taktis-strategis menyangkut perkaderan ada di wilayah otoritas pengurus Cabang. Termasuk pembacaan isu, image building, hingga antisipasi terhadap setiap perubahan yang akan terjadi. Baru kemudian, pengurus komisariat mengkontekstualisasikan kebijakan itu, di fakultas atau di lahan garapnya masing-masing. Memang, ada kalanya - karena berbagai alasan - komisariat memilih kebijakan yang berbeda dengan cabang. Ini bukan masalah. Ibarat memetik gitar, perbedaan senar dawai itu, justru dapat menghasilkan melodi yang harmonis, asal ditempatkan pada “chord” yang benar. Menyusun Chord atau Kunci yang tepat itulah fungsi pengurus Cabang.
Itu yang pertama. Kedua, belajar dari beberapa komisariat yang sukses mempertahankan eksistensinya, ternyata terdapat beberapa langkah street smart[5] yang tetap mereka pertahankan, yang itu hilang di komisariat lain. Satu, komisariat menempatkan sebanyak mungkin kadernya, untuk mengisi pos-pos struktural yang strategis di dalam kampus. Semisal, ketua HMJ, BEM, DEMA/DPM, LDK, UKM, dan lain sebagainya. Dua, dari langkah strategis ini, otomatis kader-kader komisariat mampu meng-hegemoni secara kultural. Figur-figur aktivis baru diciptakan, untuk kemudian dilekatkan embel-embel HMI pada masing-masing kader. Merekalah ikon-ikon dan sekaligus seorang public relation yang nantinya bertugas “mengambil hati” para calon kader, agar mau bergabung dalam barisan Hijau Hitam. Tiga, karena organisasi Ekstern bernasib seperti pemulung (Pemulung = Org. Ekstern = Dilarang masuk kampus !!!) maka, komisariat harus memutar otak untuk mencari kendaraan agar salah satu mission HMI (baca : kemahasiswaan) dapat tercapai. Cara yang ditempuh kemudian adalah membuat partai kampus atau kelompok-kelompok studi, untuk kemudian menyisipkan agenda komisariat di dalamnya, wa bil khusus, agenda perkaderan. Dengan tiga langkah street smart ini, meskipun boleh dibilang klise, nampaknya menjadi langkah jitu bagi HMI untuk survive.
Seiring berjalannya waktu, roda HMI Cabang Solo ternyata masih berputar. Kini kita tengah berusaha menjauh dari tanah dan pelan-pelan berputar ke atas. Pesan dalam Konferensi HMI Cabang Solo serta Visi Ketua Umum[6] kali ini terfokus pada satu hal : Soliditas Internal. Dengan demikian, sepanjang kepengurusan ini nanti, semua agenda HMI Cabang Solo memiliki misi yang tidak lain adalah optimalisasi perkaderan itu sendiri. Dengan aparat Cabang yang minim, sistem wali komisariat, penitipan kader, dan restrukturasi yang dipercepat, akan dicoba untuk menyembuhkan komisariat yang masih collaps. Dengan fokus gerak yang jelas seperti ini, terbukti ada peningkatan signifikan. Tiga bulan berjalan (terhitung pelantikan akhir Februari 2007), kepengurusan baru ini berhasil menyelenggarakan 4 kali Basic Training, dengan total kader baru sebanyak 70 orang, Alhamdulillah. Bahkan, pada tanggal 7-14 Juli 2007, HMI Cabang Solo akan mengadakan LK II bagi kader-kader di Solo khususnya dan Nasional pada umumnya, Insya Allah.

Hanya Soal Kemasan

Cabang dan Komisariat, dua ujung tombak dalam perkaderan HMI. Pembaca boleh berbeda pendapat dengan saya, semisal meletakkan Badan Pengelola Latihan (BPL) atau komponen lain HMI, sebagai yang lebih penting dalam proses perkaderan. Tapi satu yang pasti, ketiadaan sinergi antara Cabang dan Komisariat adalah tanda kiamat bagi perkaderan. LK I sebagai pintu masuk menjadi kader HMI selalu membutuhkan sinergi kedua belah pihak. Nah, persoalannya sekarang, rejuvenasi perkaderan macam apa yang perlu dilakukan?
Secara ideologis dan organisatoris, HMI belumlah usang atau kuno, bahkan masih cukup modern. Kurang bijak kalau energi kita dihabiskan untuk mengutak-atik struktur apalagi filsafat pikir HMI, yang sebenarnya sudah jelas diakui kedalamannya, dan memang bersifat terbuka, serta cocok diterapkan di belahan bumi manapun. Bicara NDP misalnya, tidak wajib kita menjadi Cak Nur-Cak Nur baru untuk sekedar menciptakan pemikiran yang berbeda, meskipun begitu juga tidak salah. Namun, yang lebih kita butuhkan sekarang adalah, kader-kader yang mampu mengoperasionalkan gagasan-gagasan beliau itu. Yang praksis-praksis sajalah bung! Sekali lagi, pembaca budiman boleh berbeda pemikiran, tetapi bagi Saya, yang perlu diremajakan kembali dari HMI hanyalah soal kemasannya saja !
Kenapa perkaderan HMI mengalami kemunduran ? karena barang kemasan kita memang sudah tidak marketable lagi. Perubahan di luar sana begitu cepat, sementara dalam HMI sendiri minim inovasi. Kita masih saja berkutat pada training keprotokoleran, konstitusi, NDP, dan kesekretariatan. Padahal dunia sudah berlari jauh pada penguasaan IT, bahasa asing, skill kehumasan (PR), research, dan kewirausahaan-mandiri. Maka wajar jika HMI tidak mampu menjawab kebutuhan mahasiswa pada umumnya, apalagi untuk menjawab tantangan jaman. Tapi tidak perlu minder, sebab mesin intelektual sekelas Universitas saja juga gelagapan menghadapinya, apalagi HMI. Untuk itu, peremajaan kembali kemasan HMI mutlak dilakukan !
Sedikit menyumbang ide dalam wacana rejuvenasi ini, kita bisa mengambil metode dalam marketing revolution. Ada satu fokus dalam marketing revolution - yang sering digunakan oleh para motivator untuk memotivasi calon entrepeneur – agar sukses dalam meningkatkan penjualan, yaitu dagangan kita harus memiliki ultimate advantages [7]dari pesaing yang lain. Keunggulan itu bisa berupa ‘ilm, brand image, prestasi, pemikiran radikal, aktivitas-kreatif, daya dobrak, progresifitas, iklan-sosialisasi, dan segala hal yang futuristik serta melampaui jamannya. Dalam pemikiran, HMI jangan sampai terlalu terseret ke kanan (fundamentalisme-sektarian), atau juga jangan terlampau ke kiri (liberalisme-kebablasan). Dalam berkegiatan, HMI harus mulai berpikir soal pemasaran, artinya, apakah kegiatan ini akan diterima dengan antusias atau tidak? Jangan sampai membuat proker karena kebiasaan atau ke-pantas-annya saja. Sekali-kali, “melanggar batas” tradisi HMI tidak masalah, asal tetap syar’i.
Begitu pula untuk level elit, sebuah harga mati untuk membuat garis demarkasi yang tegas terhadap kekuasaan maupun politik praktis! Untuk mendukung semua hal di atas, memiliki usaha mandiri mulai dari tingkat komisariat hingga PB layak dipertimbangkan secara serius. Paling minim membuat koperasi. Untuk mendukung revolusi marketing HMI, media massa harus menjadi kawan perjuangan. Jikalau media massa yang ada tidak dapat diharapkan, kita harus ciptakan media-media massa itu sendiri. News letter, buletin, majalah, hingga kalau perlu surat kaleng untuk penguasa, semuanya sah untuk dipakai. ‘Ala kulli hal, setelah sekilas mengkaji perkaderan di HMI Cabang Solo serta oto-kritik habis-habisan di atas, catatan penting bagi semua, bahwa kita juga harus melakukan revolusi sikap. Omong kosong semua hal diatas, jika attitude kita masih seperti hari ini. Dari revolusi sikap kita pribadi, ada harapan terjadi revolusi positif di HMI, atau setidak-tidaknya rejuvenasi. Wallahu’alam bishowab, tetap semangat dalam wata’awanu ‘alal birri wa taqwa dan wa la ta’awanu ‘alal ismi wal udwan.
catatan kaki :

[1] Sine Qua Non = titik berangkat, sesuatu yang tak dapat ditinggalkan, Karen Amstrong, 2004, “Menerobos Kegelapan : sebuah autobiografi spiritual” hal 434, Bandung : Mizan
[2] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, new third edition, hal 362, Oxford University Press
[3] Anggaran Dasar HMI BAB IV Pasal 7
[4] Anggaran Dasar HMI BAB IV Pasal 8
[5] Street smart dipinjam dari istilah Tung Desem Waringin, motivator dari Indonesia, yang berarti sebuah cara/strategi yang selalu dipraktekkan (jalanan) serta telah terbukti dan teruji keampuhannya.
[6] Ketua Umum HMI Cabang Surakarta Periode 2007-2008 adalah sdr. A Yuli Setiawan, dan Kurnianingtyas sebagai Sekretaris Umumnya.
[7] Keunggulan, kelebihan, sesuatu yang berbeda dengan kompetitor yang lain

Minggu, 08 Juli 2007

LK II TINGKAT NASIONAL HMI CABANG SOLO

Masjid Agung Surakarta, 9-15 Juli 2007


REVOLUSI PEMIKIRAN KADER MENUJU MUSLIM INTELEKTUAL PROFETIK

60 tahun lebih usia Himpunan ini. bukan usia yang muda lagi. Berbagai masalah mekingkupi organisasi ini, tetapi hal itulah yang seharusnya justru semakin mendewasakan HMI. Dalam usia 60 tahun ini HMI dihadapkan pada kuatnya dua gejala polarisasi gerakan umat Islam, yakni Fanatisme-sektarian (Fundamentalisme) di satu sisi, dan Pluralisme-Liberal di sisi lain. Perkembangan kedua kutub polarisasi itu sesungguhnya ancaman nyata bagi integrasi NKRI maupun integrasi umat Islam itu sendiri. Kondisi objektif semacam ini tidak serta merta mendorong HMI untuk condong pada salah satu kutub, namun harus memberi alternatif dan bergerak di tengah-tengah antara kedua ekstrim tersebut. Seperti yang kita pahami bersama, baik dalam catatan Sejarah maupun Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, menunjukkan Komitmen dan konsistensi HMI yang tinggi terhadap perannya sebagai penyokong tegaknya NKRI. Organisasi ini senantiasa memperjuangkan nilai-nilai Islam yang selaras dengan konteks kemahasiswaan dan ke-Indonesiaan. Di tengah carut marut ekonomi-politik, dekadensi moral para pemimpin, lemahnya supremasi hukum, serta integritas bangsa yang merosot di mata dunia, diperlukan sebuah usaha ekstra untuk membangkitkan kembali wibawa bangsa ini. Oleh karena itu, diperlukan metodologi dan metode untuk pelan-pelan mengubah mentalitas buruk bangsa Indonesia, khususnya kepada para mahasiswa yang kelak akan menjadi para calon pemimpin pengganti generasi tua saat ini.
Mentalitas dan kesadaran saling berkait dengan konstruksi sistem pendidikan dan filosofi hidup yang mengakar dalam masyarakat. Sampai dengan hari ini, terbukti bahwa kita tidak dapat mengandalkan sistem pendidikan Indonesia yang belum mampu mengajarkan pendidikan yang bersifat emansipatoris-transformatif. Bahkan sistem pendidikan kita pun gagal untuk sekedar mempertahankan kearifan lokal, budaya, budi pekerti, dan lebih-lebih identitas kita sebagai sebuah bangsa. Untuk itu, HMI sebagai sebuah organisasi ekstra-kampus yang peduli pada bangsa ini, menawarkan sebuah pendidikan singkat melalui Intermediate Training (Latihan Kader II) Tingkat Nasional tahun 2007, sebagai ajang Revolusi Pemikiran Kader. Sebuah awalan radikal untuk melakukan revolusi kesadaran dan mentalitas.


Muslim Intelektual Profetik (MIP)

Sebagai hadiah
malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih di bumi
sampai kejahatan terekhir dimusnahkan
sampai dhuafa’ dan mustadh’afin
diangkat Tuhan dari penderitaan

(Kuntowijoyo)

Tujuan yang dibawa HMI adalah membina insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan wajib berjuang mewujudkan masyarakat yang tidak hanya adil dan makmur, tetapi juga diridloi Allah SWT. Hal inilah yang menjadi tugas penting bagi organisasi untuk membangun manusia Indonesia yang beradab. Himpunan ini lahir untuk mencetak pemimpin-pemimpin ideal bangsa ini. Mereka adalah pemimpin yang memiliki ketajaman intelektual, kreatif-solutif, memiliki mental pengabdi, melayani kebenaran, rendah hati dan tahu diri. Semuanya terbingkai dalam aktivitas yang bernilai ibadah. Tujuan HMI ini kemudian direfleksi ulang oleh HMI Cabang Surakarta kedalam sebuah gerakan praksis untuk mencetak generasi Muslim Intelektual Profetik (MIP). Ada tiga tahapan kunci dalam gerakan MIP ini.
Pertama, revolusi pemikiran keagamaan dari abstrak menuju kongkrit. Selama ini, pemikiran keagamaan yang dipelajari terkesan memberikan porsi yang lebih untuk persoalan-persoalan yang abstrak (ketuhanan, surga-neraka, dosa-pahala, dsb) dan melupakan persoalan-persoalan riil di tengah masyarakat (kemiskinan, penggusuran, anak jalanan, dsb). Untuk itu, diperlukan reorientasi pemikiran kader. Sehingga, melalui kehadiran kader MIP, agama harus dihadirkan sebagai berkah sosial yang mampu menjadi problem solving bagi persoalan riil yang dihadapi masyarakat.
Kedua, Revolusi pendekatan keagamaan dari ideologi menuju ilmu. Sudah saatnya agama dipahami melalui pendekatan ilmu, bukan ideologi. Sebab, ideologi bersifat subjektif, normatif, dan tertutup. Sebaliknya, ilmu bersifat objektif, faktual dan terbuka. Dikotomi antara islam-tradisionalis dan modernis, nasionalis dan Islamis, liberalis dan fundamentalis adalah contoh nyata akibat frame berpikir yang ideologis. Terbukti pemikiran seperti ini melahirkan ashobiyyah (fanatisme golongan) di tengah-tengah masyarakat yang berdampak buruk bagi integrasi umat Islam dan NKRI.
Ketiga, Objektifikasi Islam. Revolusi pemikiran dari subjektif menuju objektif ini ditempuh dalam rangka menghadirkan Islam pada cita-cita objektif. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, sehingga kehadirannya bukan hanya untuk keselamatan individual semata, melainkan lebih dari itu, untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran baru yang membawa Islam berwajah emansipatif, liberatif, dan transformatif. Sebagaimana ibadah sosial tidak dapat digantikan oleh ibadah personal, tetapi sebaliknya setiap kelalaian menjalankan ibadah wajib personal, punishment yang diberikan syariat senantiasa bersifat sosial. Zakat bukan hanya mensucikan harta dan jiwa kita, tetapi esensinya adalah menghapus jurang pemisah antara yang miskin dan kaya, serta menciptakan kesejahteraan bersama.
Dengan demikian, jelas sudah dasar pemikiran dan tujuan intermediate training tingkat nasional HMI Cabang Surakarta tahun 2007 ini, yaitu untuk melakukan Revolusi Pemikiran Kader HMI, menuju generasi Muslim Intelektual Profetik (MIP) yang revolusioner, mencerahkan, dan membebaskan.

Minggu, 01 Juli 2007

Bersatulah bangsaku..berkibarlah Merah Putihku !





Kami menolak dan menentang siapapun dan daerah manapun mendirikan negara di dalam negara kesatuan Republik Indonesia ! memang, kesejahtaraan bangsa ini belum merata. Memang kemiskinan masih dimana-mana. Kejahatan dan korupsi pun merajalela..tapi..bukan alasan untuk memisahkan diri dari NKRI. karena NKRI adalah harga mati !

kita boleh mengejek dan meng-goblok2 kan penguasa kita, tapi tetap harus jaga wibawa di mata bangsa lain. Mari, bersatu saudaraku..kita berjuang..jangan sampai menjadi BUDAK di negeri dan tanah air kita sendiri !!!

Lawan PENINDASAN..tegakkan KEADILAN !

Jayalah Indonesia ! Bahagia HMI...!


Assalamu'alaikum wr. wb !
Ahlan wa Sahlan ..bagi semua kawan yang tersesat ke blog orang-orang cerdas ini !
mari kita sambut kelahiran "bayi" baru ini, dengan tersenyum yang lebih manis dari senyum saudara Anda di atas !
yakin usaha sampai...tetap tersenyum..and never give up !
Wassalam !